selamat datang di Lembata Boys (arsyad) blogger
selamat datang di arsyad blogger.........
Lewolein- Lembata-NTT
Lewolein- Lembata-NTT
Rabu, 26 Desember 2012
Minggu, 21 Oktober 2012
KISAH PENUH HIKMAH "NENEK SI PEMUNGUT DAUN"
menjual bunga cempaka di sebuah pasar.
Seperti kebiasaan setiap harinya usai berjualan, sang nenek selalu menyempatkan diri mampir ke Masjid Agung yang terdapat di kota itu dengan berjalan kaki walau jaraknya cukup jauh.
Ia kemudian berwudhu, masuk ke Masjid, dan melakukan shalat dhuhur.
Setelah berdzikir dan berdoa sekedarnya, ia segera keluar dari Masjid dan membungkuk-bungkukkan badannya di halaman Masjid. Untuk apa? Si nenek dengan sabarnya memunguti serta mengumpulkan daun-daun yang berserakan di halaman Masjid tersebut.
Selembar demi lembaran daun dikaisnya. Tak satu lembar daunpun ia lewatkan.
Tentu saja agak lama sang nenek membersihkan halaman Masjid dengan cara seperti itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh panas menyengat, hingga keringat pun jadi membasahi sekujur tubuhnya.
Banyak jemaah Masjid yang jatuh iba kepadanya.
Sehingga suatu hari Ta'mir Masjid memutuskan untuk membersihkan sendiri dedaunan itu sebelum si nenek tersebut datang.
Pada suatu hari, seperti biasanya sang nenek datang dan langsung masuk Masjid.
Berwudhu' dan dilanjutkan Shalat. Usai shalat, ketika ia hendak melakukan kebiasaan rutinnya, betapa terkejutnya ia. Sebab tak ada satu lembarpun daun yang berserakan disana. Ia kembali lagi ke Masjid dan menangis dengan sesenggukan di hadapan jamaah. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah dibersihkan sebelum kedatangannya.
Para jemaah mencoba menjelaskan bahwa mereka merasa kasihan kepadanya sehingga mereka mendahului membersihkan sebelum kedatangan si nenek.
"Jika kalian kasihan kepada saya, berikan kesempatan kepada saya untuk membersihkannya! Biarkan saya yang akan membersihkan" pinta nenek tersebut.
Singkat cerita, akhirnya sang nenek dibiarkan mengumpulkan dan membersihkan dedaunan itu seperti biasanya.
Karena orang-orang pada penasaran dengan kelakuan nenek tersebut, maka salah seorang kyai diminta untuk menanyakan kepada si nenek tersebut mengapa ia begitu bersemangat membersihkan dedaunan itu.
Maka bertanyalah sang Kyai. Akan tetapi Perempuan tua itu hanya mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat :
Pertama : Hanya Kyai yang mendengarkan rahasianya.
Kedua : Rahasia itu tidak boleh disebarkan ketika ia masih hidup.
(Sekarang sang nenek telah meniggal dunia dan kita dapat mendengarkan rahasia tersebut)
Setelah sang Kyai berjanji, maka berkatalah si nenek :
"Saya ini perempuan bodoh, Pak Kyai." tuturnya.
"Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Yang saya tahu, saya tidak mungkin selamat pada hari kiamat dan di akhirat tanpa mendapat syafaat Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Setiap kali saya mengambil selembar daun, saya mengucapkan satu shalawat kepada Rasulullah. Kelak jika saya mati, saya ingin Kanjeng Nabi menjemput saya. Memberi syafaat kepada saya. Biarlah semua dedaunan itu bersaksi bahwa saya telah membacakan shalawat kepadanya." tambah nenek tua tersebut.
Sang kyai hanya mampu tertegun mendengarkan cerita nenek tersebut. Seakan tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya.
Perempuan tua yang hanya dari sebuah kampung itu, tidak saja telah mengamalkan dan mengungkapkan rasa cintanya kepada Rasulullah SAW dalam bentuknya yang tulus. Ia juga telah menunjukkan sifat kerendahan hati (tawadhdhu’) di hadapan manusia, dan tadharru’ (kerendahan diri ke Hadirat Tuhannya), serta pengakuan akan keterbatasan amal dihadapan Allah SWT.
Lebih dari itu, ia juga memiliki kesadaran spiritual yang tinggi, yang amat luhur.
Ia sadar bahwa dia tidak dapat hanya mengandalkan amalannya untuk dapat selamat di Akhirat kelak.
Dia sangat bergantung pada Rahmat Allah SWT.
Dan siapa lagi yang menjadi rahmat di semesta alam ini selain Rasulullah SAW?
Sehingga syafaat dari Rasulullah itulah yang sangat dia harapkan.
Subhanallah,
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa'ala ali Muhammad.
Kisah ini dituturkan oleh salah satu Kyai di Madura, Bapak D. Zawawi Imron (Dikenal juga sebagai Penyair yang banyak dekat dengan Ulama').
Senin, 30 Juli 2012
MUSDA-1 NTT FKMPI 2012
Hari ini, 31 juli 2012 mahasiswa yang berasal dari 3 Politeknik Negeri se-kota kupang mengikuti rangkaian acara Musyawarah daerah (MUSDA-1 Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik Indonesia (FKMPI) di Kupang. Kegiatan dimulai dari tanggal 31 juli hingga 1 Agustus 2012 di Politeknik Pertanian Negeri Kupang.
Pembukaan kegiatan sendiri dilaksanakan, Selasa Pagi (31/07/2012), puluhan mahasiswa yang hadir terlihat antusias mengikuti rangkaian acara yang akan digelar selama dua kedepan.
Sekjen Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik Indonesia (FKMPI), Ahmad Zulkarnain melalui Koordinator Wilayah (KORWIL)mengatakan, MUSDA yang dilaksanakan tersebut diharapkan dapat menjadi ajang silatuhrahmi antara mahasiswa Poltek Negeri dan pembaharuan informasi terkait Politeknik yang ada di kota kupang dan NTT umumnya.
"Selain membahas terkait Poltek itu sendiri, kita juga melakukan komunikasi terkait kondisi bangsa kita Indonesia secara umum," ujarnya.
Penulis : Arsad Geniko
Minggu, 22 Juli 2012
pesan ramadhan
http://aaikhwan.wordpress.com/2012/07/19/sambutlah-bulan-ramadhan-dengan-taqwa-dan-taubat-yang-benar/
Minggu, 08 Januari 2012
Sabtu, 07 Januari 2012
Kisah Sahabat Nabi: Amr bin Jamuh, Menggapai Surga dengan Kaki Pincang
Kisah Sahabat Nabi: Amr bin Jamuh, Menggapai Surga dengan Kaki Pincang
Amr bin Jamuh adalah salah seorang pemimpin Yatsrib pada masa jahiliyah. Dia ipar Abdull bin Amr bin Haram, juga kepala suku Bani Salamah yang dihormati yang dihormati karena pemurah dan memiliki peri kemanusiaan yang tinggi serta gemar menolong orang-orang yang membutuhkanTelah menjadi kebiasaan para bangsawan jahiliyah untuk menempatkan patung di rumah mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka bisa mengambil berkah dan dan memuja patung tersebut setiap saat. Selain itu, untuk memudahkan mereka meletakkan sesajen sembari mengadukan keluhan-keluhan mereka pada waktu yang diperlukan.
Patung di rumah Amr bin Jamuh bernama “Manat”. Patung itu terbuat dari kayu, indah dan mahal harganya. Untuk perawatannya, Amr bin Jamuh terkadang harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Hampir setiap hari patung itu dibersihkan dan diminyaki dengan wangi-wangian khusus dan mahal.
Tatkala cahaya Islam mulai bersinar di Yatsrib dari rumah ke rumah, usia Amr bin Jamuh sudah lewat 60 tahun. Tiga orang putranya: Mu’awadz, Mu’adz dan Khalad, serta seorang kawan sebaya mereka, Mu’adz bin Jabal, telah masuk Islam di tangan Mush‘ab bin Umair, sang duta Islam. Bersamaan dengan ketiga putranya, masuk Islam pula ibu mereka Hindun, istri Amr bin Jamuh. Amr tidak mengetahui kalau mereka telah masuk Islam.
Saat itu, para bangsawan dan pemuka suku di Yatsrib (Madinah) telah banyak yang masuk Islam. Hindun yang sangat mencintai dan menghormati suaminya khawatir kalau suaminya mati dalam keadaan kafir lalu masuk neraka. Sebaliknya Amr sangat mencemaskan keluarganya yang akan meninggalkan agama nenek moyang mereka. Dia takut putra-putranya terpengaruh oleh dakwah yang disebarkan oleh Mush’ab bin Umair. Karena dalam tempo singkat Mush’ab berhasil merubah agama orang banyak dan menjadikan mereka Muslim.
Oleh sebab itu, Amr selalu berkata kepada istrinya, “Hai Hindun, hati-hatilah menjaga anak-anak, agar mereka jangan sampai bertemu dengan orang itu (Mush ‘ab bin ‘Umair)!”
“Ya," jawab istrinya. "Tapi apakah kau pernah mendengar putra kita bercerita mengenai pemuda itu?”
“Celaka! Apakah Mu’adz telah masuk agama orang itu?" tanya Amr gusar.
“Tidak, bukan begitu! Tetapi Mu’adz pernah hadir dalam majelis orang itu, dia ingat kata-katanya,” jawab istrinya menenteramkan hati Amr.
"Panggillah dia kemari!” perintah suaminya.
Ketika Mu’adz hadir di hadapan ayahnya, Amr berkata, “Coba baca kata-kata yang pernah diucapkan orang itu. Bapak ingin mendengarkannya."
Mu’adz membacakan surat Al-Fatihah kepada bapaknya.
“Alangkah bagus dan indahnya kalimat itu. Apakah setiap ucapannya seperti itu?” tanya Amr.
“Bahkan lebih bagus dari itu. Bersediakah ayah baiat dengannya? Rakyat ayah telah banyak yang baiat dengan dia,” kata Mu’adz.
Orang tua itu diam sebentar. Kemudian dia berkata, “Aku tidak akan melakukannya sebelum musyawarah lebih dahulu dengan Manat. Aku menunggu apa yang dikatakan Manat.”
“Bagaimana Manat bisa menjawab? Bukankah itu benda mati, tidak bisa berpikir dan tidak bisa berbicara?” kata Mu’adz.
“Kukatakan padamu, aku tidak akan mengambil keputusan tanpa dia!” tegas Amr.
Putra-putranya mengetahui benar kapan ayah mereka menyembah berhala itu. Mereka juga tahu kalau hati ayah mereka mulai goyah. Oleh sebab itu, mereka mencari jalan bagaimana cara menghilangkan patung tersebut dari hati Amr bin Jamuh. Salah satu jalannya adalah menyingkirkan berhala tersebut dari rumah mereka dan membuangnya jauh-jauh.
Pada suatu malam, putra-putra Amr dan bersama Mu’adz bin Jabal menyusup ke dalam rumah lalu mengambil berhala tersebut dan membuangnya ke dalam lubang kotoran manusia. Tidak seorang pun yang mengetahui dan melihat perbuatan mereka itu.
Pagi harinya, Amr tidak melihat Manat di tempatnya. Ia bergegas mencari berhala tersebut dan akhirnya menemukan di tempat pembuangan kotoran. Bukan main marahnya Amr bin Jamuh melihat kondisi sesembahannya itu. Setelah membersihkan sang berhala dan memberinya wewangian, ia kembali meletakkannya di tempat semula.
Malam berikutnya, Muadz bin Jabal dan putra-putra Amr memperlakukan berhala itu seperti sebelumnya. Demikian juga pada malam-malam berikutnya. Akhirnya, habislah kesabaran Amr. Diambilnya pedang, kemudian digantungkannya di leher Manat, seraya berkata, " Hai Manat, jika kamu memang hebat, tentu bisa menjaga dirimu dari aniaya orang lain!"
Keesokan harinya, Amr bin Jamuh tidak menemukan berhalanya kembali. Ketika ia cari, benda tersebut ditemukannya di tempat pembuangan hajat, terikat bersama bangkai seekor anjing. Di saat ia keheranan, marah dan kecewa, muncullah beberapa pemuka Madinah yang telah masuk Islam. Sambil menunjuk berhala yang terikat dengan bangkai anjing itu, mereka berusaha mengetuk hati Amr bin Jamuh agar menggapai hidayah Allah.
Akhirnya ia sadar, bahwa Manat tak dapat berbuat apa-apa. Manat ternyata tak mempunyai sifat ketuhanan sedikit pun. Selama ini, ia berpikir bahwa kekayaan yang ia miliki itu datang dari Manat. Sekarang ia sadar, bahwa Manat bukanlah Tuhan yang dapat memberinya rezeki dan petunjuk.
Ia kemudian membersihkan badan dan pakaiannya, memakai wewangian, lalu bergegas menemui Nabi Muhammad SAW untuk menyatakan keislamannya. Amr bin Jamuh merasakan bagaimana manisnya iman. Dia sangat menyesali dosa-dosanya selama dalam kemusyrikan. Maka setelah masuk Islam, ia mengarahkan seluruh hidupnya, hartanya, dan anak-anaknya dalam menaati perintah Allah dan Rasul-Nya.
Tatkala terjadi Perang Badar, Amr bin Jamuh bersiap-siap hendak turut bergabung, namun sayang Rasulullah tak mengizinkannya turut serta—melihat kondisinya yang renta dan pincang. Beliau memberikan keringanan padanya untuk tidak ikut berperang.
Namun ketika terjadi Perang Uhud, ia pun bersiap-siap hendak turut berjihad. Namun putra-putranya melarang. Ia pun nekat menemui Rasulullah dan berkata, "Wahai Rasulullah, putra-putraku melarangku berbuat kebajikan. Mereka keberatan jika aku ikut berperang karena sudah tua dan pincang. Demi Allah, dengan pincangku ini, aku bertekad meraih surga."
Rasulullah pun akhirnya mengizinkan Amr bin Jamuh turut serta dalam Perang Uhud. Dengan suara mengiba ia memohon kepada Allah SWT, "Ya Allah, berilah aku kesempatan untuk memperoleh syahid. Jangan kembalikan aku kepada keluargaku."
Tatkala perang berkecamuk, kaum Muslimin berpencar. Amr bin Jamuh berada di barisan paling depan. Dia melompat dan berjingkat seraya mengelebatkan pedangnya ke arah musuh-musuh Allah, sambil berteriak, "Aku ingin surga, aku ingin surga!"
Apa yang didambakan Amr akhirnya terwujud jua. Ia gugur sebagai syahid bersama beberapa sahabat lainnya. Tatkala perang berakhir, Rasulullah SAW memerintahkan untuk memakamkan jasad Abdullah bin Amr bin Haram dan Amr bin Jamuh dalam satu liang lahat. Semasa hidup, mereka berdua adalah sahabat setia yang saling menyayangi. Dalam riwayat lain disebutkan, Amr bin Jamuh dimakamkan satu liang dengan putranya, Khalad bin Amr.
Setelah 46 tahun berlalu, tanah pemakaman itu dilanda banjir. Kaum Muslimin terpaksa memindahkan jasad para syuhada. Kala itu, Jabir bin Abdullah bin Haram—putra Abdullah bin Amr bin Haram—masih hidup. Bersama keluarganya, ia memindahkan jasad ayahnya, Abdullah bin Haram dan Amr bin Jamuh. Mereka mendapatkan kedua jasad syuhada itu tetap utuh. Tak sedikit pun dari tubuh mereka yang dimakan tanah. Bahkan keduanya seperti tertidur nyenyak dengan bibir menyunggingkan senyum.
Redaktur: cr01
Sumber: 101 Sahabat Nabi karya Hepi Andi Bastoni
Langganan:
Postingan (Atom)